Sabtu, 22 Maret 2014

Kebijakan Penyusunan Data Pengelolaan Keuangan Daerah



Kebijakan Penyusunan Data Pengelolaan Keuangan Daerah
Selasa, 08 Oktober 2013 10:36:01 | Good Governance 



Dalam konteks profesi atau pekerjaan, tentu jangan lagi kita berpikir bahwa pegawai yang ditempatkan dibagian data hanyalah pegawai yang tidak penting. Dalam Pasal 63 ayat (2) PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah disebutkan kepada Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD) dapat diberikan tambahan penghasilan. Kenapa ? Mereka bisa dilihat dari sisi kelangkaan profesi sebagai penyusunan data. Mungkin bisa dilihat sebagai pekerjaan yang mengandung resiko. Tentu tidak terbayangkan seandainya mereka memberi data yang salah, akibatnya akan sangat fatal. Data tentang impor sapi, misalnya, karena datanya salah, pihak-pihak terkait juga salah dalam menghitung kebutuhan daging dalam negeri. Inilah pentingnya data yang bisa diolah menjadi informasi. Kita semakin yakin bahwa data menjadi hal yang sangat penting dalam menyuguhkan informasi tentang keuangan daerah yang akurat dan akuntabel. Kita pun makin antusias mempresentasikan masalah data, yang dimulai sekitar awal tahun 2012. Awalnya, kita minta pemerintah provinsi membenahi masalah data. Kenapa ke pemerintah provinsi ? Karena sesuai peraturan perundangan, gubernur merupakan wakil pemerintah pusat di daerah. Oleh karena itu, meskipun pemerintah pusat bisa menghubungi langsung ke kab/kota, namun hal itu tidak dilakukan. Prinsipnya, data yang diperoleh harus berasal dari provinsi. Kementerian Dalam Negeri, dalam hal ini Ditjen Keuangan Daerah, ingin menyamakan persepsi serta mencari solusi atas berbagai kesulitan yang dialami daerah terkait dengan data dan informasi tentang keuangan daerah. Maka, tidak ada alasan bagi provinsi untuk tidak member data yang dibutuhkan oleh pusat. Pusat minta data ke provinsi karena masih ada kab/kota yang susah dihubungi. Bahkan, saat ini, masih ada kab/kota yang sulit diminta data. Boleh jadi mereka mengacu pada Pasal 13 ayat (2) PP No. 58 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa penganggaran untuk setiap pengeluaran APBN harus didukung dengan dasar hukum yang melandasinya. Terkait dengan penyusunan data, hal itu sudah diamanatkan dalam peraturan perundangan, yakni Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, PP No. 58 tahun 2005, dan Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Dalam PP No. 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah juga diamanatkan bahwa daerah diminta untuk menyampaikan data tentang keuangan daerah. PP No. 58 Tahun 2005 merupakan turunan dari Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang mengamanatkan bahwa kepala daerah diminta untuk menyampaikan laporan realisasi anggaran setiap semester.
Sesuai PP No. 56 Tahun 2005, ada kewajiban daerah untuk menyampaikan informasi yang berkaitan dengan keuangan daerah kepada pemerintah informasi keuangan daerah yang disampaikan harus memenuhi prinsip-prinsip akurat, relevan, serta dapat dipertanggungjawabkan. Informasi keuangan daerah disampaikan kepada Menteri Keuangan dan Menteri Dalam Negeri. Bahkan, Menteri Keuangan “dibekali senjata” berupa sanksi penundaan penyaluran DAU bagi daerah yang terlambat menyampaikan APBN. Penyampaian laporan APBN merupakan kewajiban bagi daerah sebagai salah satu bagian dari informasi pengelolaan keuangan daerah. Di daerah banyak tersedia data dan informasi tentang pengelolaan keuangan daerah, seperti APBD, LAKIP, dan lain-lain, termasuk neraca daerah dan laporan arus kas atas laporan keuangan. Sehingga banyak orang bilang bahwa kontor sesungguhnya merupakan collection of data. Kita tidak bisa membayangkan ada kantor yang tidak memiliki data. Mekanisme penyampaian informasi keuangan daerah dilakukan secara berkala dengan dokumen tertulis. Saat ini, aturan masih menghendaki perlu adanya laporan tertulis (hard copy). Memang, kebijakan ini berbeda dengan Negara lain yang sudah tidak menggunakan hars copy (paperless). Di Negara kita karena masih ada ketentuan yang mengatur seperti itu (menggunakan hard copy, red), hal itu harus dipatuhi. Namun, untuk memenuhi prinsip ketepatan waktu, kami saat ini juga menawarkan kepada daerah untuk menyampaikan APBD melalui email atau bahkan SMS. Hal itu tidak menjadi masalah, yang penting memenuhi asas akurat, relevan dan dapat dipertanggungjawabkan. Pada prinsipnya, sepanjang dokumen dikirim oleh orang dengan alamat/instansi yang jelas, dokumen itu bisa digunakan. Namun, untuk menghindari pemasukan data-data yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, daerah akan diberikan password. Password tersebut sekaligus bisa digunakan oleh daerah yang ingin mengetahui tingkat kepatuhan daerah yang bersangkutan. Dengan password, daerah bisa membuka sendiri datanya, dan hanya daerah yang bersangkutan yang bisa mengakses data tersebut. Ketika sudah di-published di internet maka data tersebut sudah menjadi domain public (bukan lagi rahasia Negara). Untuk itu, dalam rangka memenuhi prinsip-prinsip keterbukaan informasi, daerah diminta untuk menginformasikan APBD kepada masyarakat. Tujuannya, supaya masyarakat mengetahui hak dan kewajibannya.
Pusat hanya ingin mendapatkan gambaran, seperti apa peta realisasi APBD, misalnya, hingga triwulan IV 2012 atau pada tahun berjalan. Tentu, data itu bukanlah data permanen, dan pusat akan tetap menggunakan data berupa laporan pertanggungjawaban yang sudah menjadi perda. “Jadi, kekhawatiran daerah terhadap data itu sebenarnya tidak perlu dipelihara,”ujar Syarifuddin, Direktur Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah, saat menjadi pembicara dalam acara Rapat Pembinaan Penyusunan Data Administrasi Keuangan Daerah Provinsi dan Kab/Kota, di Jakarta. Pengolahan data akan lebih mudah dan akurat ketika sudah menggunakan sistem/aplikasi. Sayang, sampai saat ini belum semua daerah menggunakan aplikasi. Artinya, masih ada daerah yang sampai hari ini manual dalam mengelola data atau menyusun laporan keuangannya. Pusat memang tidak punya hak dan kewajiban untuk memaksa daerah untuk menggunakan/mengarahkan kepada satu sistem tertentu. Sistem hanyalah sebuah media dan alat untuk mempermudah pelaporan keuangan  bagi daerah. Karena serba cepat dan akurat sudah menjadi tuntutan, sehingga menggunakan sistem/aplikasi adalah jawabannya. Sistem informasi saat ini menjadi satu kebutuhan. Untuk itu, kita harus menyesuaikan dengan kemajuan teknologi yang ada. Kita perlu menegaskan kembali bahwa APBN berjalan paling lambat disampaikan pada tanggal 31 Januari, sedangkan APBD
Perubahan paling lambat 30 hari setelah ditetapkan. Laporan semester paling lambat 30 hari setelah berakhirnya semester yang bersangkutan. Sedangkan Laporan neraca APBD paling lambat disampaikan pada tanggal 31 Agustus. Ditjen Keuangan Daerah pernah mengusulkan kepada Kementerian Keuangan agar aturan penyampaian paling lambat tanggal 31 Agustus ditinjau ulang, karena terkesan tergesa-gesa. Tujuan dari penyampaian data tersebut adalah dalam rangka penyusunan kebijakan dan pengendalian fiscal secara nasional, penyajian informasi keuangan daerah secara nasional, serta meluruskan kebijakan keuangan daerah. Dengan daerah disiplin dalam penyediaan data, manfaatnya bukan hanya bagi pemerintah pusat tetapi juga bagi daerah. Gubernur, selaku wakil pemerintah pusat di daerah, seharusnya memiliki data yang memadai berkaitan dengan data-data yang ada di kab/kota di wilayahnya. Dengan daerah kab/kota menyusun laporan keuangan secara rutin, hal itu juga akan sangat bermanfaat bagi para pengambil keputusan di daerah.



 

0 komentar:

Posting Komentar